Senin, 27 Februari 2017

Keilmuan Islam

Keilmuan Islam

Madrasah dan pertumbuhan ilmu-ilmu Islam



Madrasah dan pertumbuhan ilmu-ilmu Islam
A.    Peran madrasah dalam pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam
B.     Posisi madrasah dalam berbagai cabang ilmu
1.      Ilmu keagamaan
2.      Ilmu keduniaan

NASAKH MANSUK



BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang Masalah
Al-Quran adalah wahyu Allah yang disampaikan oleh malaikat jibril pada Nabi Muhammad sesuai dengan apa yang tertulis di lauh al-mahfud. Al-qur’an mencangkup tiga pokok tujuan utama, yaitu dalam bidang akidah, bidang syariah, dan bidang ahlak.[1] Al-qur’an turun berdasarkan peristiwa-peristiwa yang melatarbelakanginya.[2] Hal itu disesiuaikan dengan tuntutan realitas Zaman, waktu, dan kemaslahatan manusia.
 Secara umum Maqasid Al- Tasri’ adalah untuk kemaslahatan manusia. Maka dalam pembentukan kemaslahatan manusia tidak dapat dielakkan, adanya Nasikh Mansukh terhadap beberapa hukum terdahulu dan diganti dengan hukum yang maslahah. Proses serupa ini, disebut dengan nasikh mansukh. Oleh karena itu untuk mengetahui Al-Qur’an dengan baik harus mengetahui ilmu nasikh mansukh dalam Al-qur’an. Dengan demikian dapat dipahami bahwa nasikh mansukh terjadi karena Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa yang mengiringinya.
Nasikh dan mansukh merupakan salah satu cara yang ditempuh oleh para ulama dalm menafsirkan Al-Qur’an, apabila mereka kesulitan menyelesaikan dan keluar dari dua ayat yang seolah-olah bertentangan antara yang satu dengan yang lainya. Apabila mereka mengetahui yang lebih awal muncul, maka yang lebih awal munculnya tersebut mereka menasikhkan dengan yang datangnya belakangan.
Dalam penulisan makalah ini penulis membatasi pembahasan ilmu Al-Qur’an tersebut terhadap nasikh dan mansukh. Dimulai dengan pengertian nasakh mansukh sampai hikmah adanya nasakh mansukh. Dengan pengetahuan yang benar tentang nasakh-mansukh, memperlihatkan segi hikmah ilahi dalam memelihara keselamatan manusia dan serta memperkokoh keyakinan, bahwa sumber Al-Qur’an yang hakiki adalah Allah Rabbul’alamiin. Karena Allah jualah yang menghapus dan menetapkan sesuatu menurut kehendaknya. 

B.      Rumusan Masalah
1.       Apa pengertian Nasikh dan Mansukh dan Urgensinya?
2.     Apa saja  Syarat-syaratnya?
2.      Bagaimana sejarah Nasikh dan Mansukh?
3.      Apa saja Macam-macam Nasakh dan Mansukh?
4.      Apa Hikmah nasakh mansukh?



















BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian dan Urgensi nasakh Mansukh
1.      Pengertian Nasikh dan Mansukh
Naskh secara bahasa  berasal dari bahasa arab yaitu نسح   bentuk masdar  نسخاً    artinya menghilangkan, menghapuskan, memindahkan.[3] Nasakh dapat bermakna izalah seperti firman Allah[4],
ã|¡Yusù ª!$# $tB Å+ù=ムß`»sÜø¤±9$# ¢OèO ãNÅ6øtä ª!$# ¾ÏmÏG»tƒ#uä 3 ª!$#ur íOŠÎ=tæ ÒOŠÅ3ym [5]
Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat- nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana,
* $tB ô|¡YtR ô`ÏB >ptƒ#uä ÷rr& $ygÅ¡YçR [6]
ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya,



Nasakh dapat bermakna menukilkan dari suatu tempat ke tempat yang lain seperti pada perkataan:” nasakhtu al-kitaba= saya menukilkan isi kitab” yaitu kita nukilkan apa yang ada di dalam kitab itu meniru lafal dan tulisan.[7] Menurut istilah nasakh ialah mengangkat (menghapus) hukum syara’ dengan dalilhukum (khitab ) syara yang lain.[8]  Sedangkan mansuk adalah hukum yang diangkat atau dihapuskan.
Secara terminologi Quraish Shihab menyatakan bahwa: “ulama-ulamamutaqaddimin dan muta’akhirin tidak sepakat dalam memberikan pengertian naskhsecara terminologi. Hal itu terlihat dari kontroversi, yang muncul diantara mereka dalam menetapkan adanya naskh dalam Al-Qur’an. Ulama mutaqqadimin bahkan memperluas arti naskh hingga mencakup:
a.      Pembatalan hukum yang ditetapkan oleh hukum yang ditetapkkan kemudian,
b.      Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang spesifik yang datang kemudian,
c.      Penjelasan susulan terhadap hukum yang bersifat ambigius,
d.      Menetapkan syarat bagi hukum yang datang kemudian guna membatalkan atau merebut atau menanyakan berakhirnya masa berlakunya hukum terdahulu.
2.    Urgensi Nasakh Mansukh
Adanya nasikh-mansukh  tidak  dapat  dipisahkan  dari  sifat turunnya   al-Qur'an  itu  sendiri  dan  tujuan  yang  ingin dicapainya. Turunnya  Kitab  Suci  al-Qur'an  tidak  terjadi sekaligus, tapi berangsur-angsur dalam waktu 20 tahun lebih. Hal ini memang dipertanyakan orang ketika itu,  lalu  Qur'an sendiri  menjawab,  pentahapan  itu  untuk  pemantapan, khususnya di bidang hukum.[9] Dalam  hal  ini  Syekh  al-Qasimi berkata,  sesungguhnya  al-Khalik  Yang  Maha Suci lagi Maha Tinggi mendidik bangsa Arab selama  23  tahun  dalam  proses tadarruj (bertahap) sehingga mencapai kesempurnaannya dengan perantaraan berbagai sarana sosial. Hukum-hukum itu  mulanya bersifat  kedaerahan, kemudian secara bertahap diganti Allah dengan yang lain, sehingga bersifat  universal. 
Bahwa naskh  (penghapusan)  adalah  undang-undang alami   yang   lazim,  baik  dalam  bidang  material  maupun spiritual, seperti proses kejadian manusia dari  unsur-unsur sperma  dan  telur  kemudian  menjadi  janin,  lalu  berubah menjadi  anak,  kemudian  tumbuh  menjadi  remaja,   dewasa, kemudian  orang  tua dan seterusnya. Setiap proses peredaran (keadaan) itu merupakan bukti nyata, dalam alam  ini  selalu berjalan  proses tersebut secara rutin. Dan kalau naskh yang terjadi pada alam raya ini tidak lagi diingkari  terjadinya, mengapa   mempersoalkan  adanya  penghapusan dan proses pengembangan serta tadarruj dari yang rendah ke  yang  lebih tinggi.  Apakah seorang dengan penalarannya akan berpendapat bahwa yang bijaksana langsung  membenahi  bangsa  Arab  yang masih  dalam  proses  permulaan itu, dengan beban-beban yang hanya patut bagi suatu bangsa yang telah  mencapai  kemajuan dan kesempurnaan dalam kebudayaan yang tinggi. Kalau pikiran seperti ini tidak akan diucapkan seorang yang berakal sehat, maka  bagaimana mungkin hal semacam itu akan dilakukan Allah swt. Yang Maha Menentukan  hukum,  memberikan  beban  kepada suatu  bangsa  yang masih dalam proses pertumbuhannya dengan beban yang tidak akan bisa dilakukan  melainkan  oleh  suatu bangsa  yang  telah  menaiki  jenjang  kedewasaannya. 
Lalu, manakah yang lebih baik, apakah syari'at  yang  menurut sunnah  Allah  ditentukan  hukum-hukumnya  sendiri, kemudian di-nasakh-kan  karena  dipandang  perlu  atau  disempurnakan hal-hal  yang  dipandang  tidak  mampu  dilaksanakan manusia dengan alasan kemanusiaan ataukah  syari'at-syari'at  agama lain  yang  diubah  sendiri  oleh  para pemimpinnya sehingga sebagian hukum-hukumnya lenyap sama sekali.
Syari'at Allah adalah perwujudan  dari  rahmat-Nya.  Dia-lah yang  Maha  Mengetahui kemaslahatan hidup hamba-Nya. Melalui sarana syari'at-Nya, Dia mendidik manusia hidup  tertib  dan adil  untuk  mencapai  kehidupan  yang  aman,  sejahtera dan bahagia di dunia dan di akhirat.



B.                               Syarat-Syarat  Nasakh
Ruang lingkup naskh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan secara tegas dan jelas, maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita (khabar) yang bermakna perintah (amar) atau larangan (nahi). Nask terjadi dalam berita atau khabar. Jelasnya tidak semakna dengan perintah dan larangan, seperti halnya janji dan ancaman.
Kemudian syarat-syarat terjadinya nask adalah sebagai berikut:
1.    Yang dinasakh itu hukum syar’i
2.    Dalil penghapusan hukum nasakh tersebut adalah dalil syar’i
3.    Dalil yang mengangkat itu mempunyai tenggang waktu (al-tarakhi) dengan hukum pertama dan tidak mempunyai hubungan al-qaid dengan muqayad.
4.    Dalil antara keduanya bertentangan secara hakiki.
Dasar-dasar penetapan nasikh dan mansukh, dalam hal ini Manna’ Khalil Al-Qathan menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahwa suatu ayat itu dikatakan nasikh(menghapus), dan ayat lain dikatakan mansukh (dihapus), yaitu:

1.    Melalui pentranmisian yang jelas (an-naql ash-sharih) dari Nabi atau para sahabatnya,
2.    Melaui kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat ini mansukh,
3.    Melaui studi sejarah, ayat mana yang lebih belakangan turun, sehingga disebutnasikh, dan ayat mana yang terlebih dahulu turun hingga disebut mansukh.

C.                              Macam-Macam Nasakh
Berdasarkan kejelasan dan cakupanya, naskh dalam Al-Qur’an dikelompokan kepada empat macam, yaitu nasikh sharih, naskh dhimmy, naskh kully dan naskh juz’iy. Nasakh terkadang sharih (jelas) dan terkadang bersifat dhimni (kandunganya).  Nasakh yang sharih yaitu nasakh yang terdapat dalam hukum positif atau berupa peraturan. Sedangkan nasakh dhimni yaitu syara’ tidak menyebutkan terang-terangan dalam penyariatanya. [10]

Pembagian nasakh ada empat yaitu
1.    Nasakh al-qur’an dengan al-qur’an
Contohnya, ,  Diantaranya ayat tentang perang (qital) yang mengharuskan satu orang muslim melawan 10 orang kafir adalah ayat 65 dari surat Al-Anfal Ayat ini menurut Jumhur Ulama dihapus oleh ayat yang mengharuskan orang mukmin melawan dua orang kafir, seperti pada surat Al-Anfal ayat 66 .
$pkšr'¯»tƒ ÓÉ<¨Z9$# ÇÚÌhym šúüÏZÏB÷sßJø9$# n?tã ÉA$tFÉ)ø9$# 4 bÎ) `ä3tƒ öNä3ZÏiB tbrçŽô³Ïã tbrçŽÉ9»|¹ (#qç7Î=øótƒ Èû÷ütGs($ÏB 4 bÎ)ur `ä3tƒ Nà6ZÏiB ×ps($ÏiB (#þqç7Î=øótƒ $Zÿø9r& z`ÏiB šúïÏ%©!$# (#rãxÿx. óOßg¯Rr'Î/ ×Pöqs% žw šcqßgs)øÿtƒ ÇÏÎÈ   z`»t«ø9$# y#¤ÿyz ª!$# öNä3Ytã zNÎ=tæur žcr& öNä3ŠÏù $Zÿ÷è|Ê 4 bÎ*sù `ä3tƒ Nà6ZÏiB ×ps($ÏiB ×otÎ/$|¹ (#qç7Î=øótƒ Èû÷ütGs($ÏB 4 bÎ)ur `ä3tƒ öNä3ZÏiB ×#ø9r& (#þqç7Î=øótƒ Èû÷üxÿø9r& ÈbøŒÎ*Î/ «!$# 3 ª!$#ur yìtB tûïÎŽÉ9»¢Á9$# ÇÏÏÈ  
65. Hai Nabi, Kobarkanlah semangat Para mukmin untuk berperang. jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti

66. sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar.
 Contoh lain: firman Allah Azza wa Jalla.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَأَطْهَرُ فَإِن لَّمْ تَجِدُوا فَإِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu.Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Al Mujadalah :12]
Ayat ini menunjukkan kewajiban shadaqah bagi yang mampu sebelum berbisik-bisik dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian ayat ini dimansukh ayat berikutnya yang menghapuskan kewajiban tersebut. Lihat hal ini dalam Tafsir Ibnu Katsir. Allah Azza wa Jalla firmanNya:
ءَأَشْفَقْتُمْ أَن تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوا وَتَابَ اللهُ عَلَيْكُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللهَ وَرَسُولَهُ وَاللهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. [Al Mujadalah:13]
2.      Nasakh al-qur’an dengan sunnah
a.       Nasakh al-qur’an dengan hadis mutawatir
Naskh senacam ini dibolehkan oleh Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Allah berfirman:Artinya: “Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.  Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm 3-4)
Dalam pada itu Asy-syafi’i, Zhahiriyah dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain menolaknaskh seperti ini, berdasarkan firman Allah, Artinya: “Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?” (QS. Al-Baqarah:106)
Sedang hadits tidak lebih baik dari atau sebanding dengan Al-qur’an.[11]
b.      Nasakh al-quran dengan hadis ahad
Jumhur berpendapat, Al-qur’an tidak boleh dinasakh oleh hadits ahad, sebab Al-qur’an adalah mutawattir dan menunjukkan keyakinan, sedang hadits ahad itu zhanni, bersifat dugaan, disamping tidak sah pula menghapusakan sesuatu yang maklum (jelas diketahui) dengan yang mazhnun (diduga).
3.      Nasakh sunnah dengan al-Qur’an
Contoh jenis ini adalah: syari’at shalat menghadap Baitul Maqdis, yang ini berdasarkan Sunnah, dihapuskannya dengan firman Allah Azza wa Jalla.[12]
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَآءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. [Al Baqarah :144]
4.      Nasakh sunnah dengan sunnah

Contoh: Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا
Dahulu aku melarang kamu dari berziarah kubur, maka sekarang hendaklah kamu berziarah (kubur). [HR. Muslim, no: 977]
Dengan penjelasan di atas jelaslah bahwa di dalam Al-Qur’an ada nasikh (ayat yang menghapus hukum yang sudah ada sebelumnya) dan mansukh (ayat yang dihapus) hukumnya atau lafazhnya.

D.    Hikmah nasakh dalam al-Qur’an
1.      Untuk menunjukkan bahwa syariat islam adalah syariat yang paling sempurna.
2.      Selalu menjaga kemaslahatan hamba agar kebutuhan mereka senantiasa terpelihara dalam semua keadaan dan disepanjang zaman.
3.      Untuk menjaga agar perkembangan hukum islam selalu relevan dengan semua situasi dan kondisi umat yang mengamalkan, mulai dari yang sederhana sampai ketingkat yang sempurna.
4.      Untuk menguji orang mukallaf, apakah dengan adanya perubahan dan penggantian-penggantian dari nasakh itu mereka tetap taat, setia mengamlkan hukum-hukm allah, atau dengan begitu lalu mereka ingkar dan membangkang.
5.      Untuk menambah kebaikan dan pahala bagi hamba yang selalu setia mengamalkan hukum-hukum perubahan, walaupun dari yang mudah kepada yang sukar.
6.      Untuk memberi dispensasi dan keringanan bagi ummat islam, sebab dalam beberapa nasakh banyak yang memperingan beban dan memudahkan pengamalan guna menikmati kebijakansanaan dan kemurahan allah swt. Yang maha pengasih lagi maha penyayang.[13]



























BAB III
PENUTUP

Naskh adalah hal yang diperbolehkan keberadaannya dalam agama Islam. Hal ini sesuai dengan dalil yang telah datang dari Alqur’an dan sunnah Rasulullah SAW.
Demi menjaga kemashlahatan hamba-Nya, Allah telah menghapus sebagian hukum dalam syari’at Islam. Bila ternyata hukum penggantinya itu lebih ringan, maka itu adalah kemudahan yang diberikan oleh Allah di dunia ini secara langsung, namun apabila ternyata penggantinya lebih berat, maka tidak lain hal ini akan melipat gandakan pahala pelaksananya sebagai balasan atas ketaatannya pada aturan Allah Ta’ala.
Bahwa Allah Ta’ala adalah raja segala raja yang hanya Dia-lah yang berkuasa membuat peraturan bagi hamba-hamba-Nya. Maka dari itu hendaknya kita selalu tunduk pada aturan-aturan yang datang dari-Nya, yang berupa perintah maupun larangan.















Daftar Pustaka

Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih,terj. Moh.Zuhri dan Ahmad Qarib,Semarang: Dina Utama, 1994..
M. Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui, Jakarta: Lentera Hati, 2008.
----------------------Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1994.
M. Hasbi ash-Shiddiqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2014.
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Maulana Hasanuddin,  Jakarta: Pustaka Nusantara, 2009.
A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawir Arab Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif,  1997.
Ahmad Mustofa AL-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, terj. Anwar Rasyidi dkk, Semarang: Toha Putra, 2010.



[1] Baca M. Quraish Shihab, 1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui, (Jakarta: Lentera Hati, 2008) hlm. 275-287. Dan M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1994), hlm.143.
[2] Ahmad Mustofa AL-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, terj. Anwar Rasyidi dkk, (Semarang: Toha Putra, 2010) hlm.4
[3]A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawir Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif,  1997), hlm. 1412
[4] M. Hasbi ash-Shiddiqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2014), hlm.138.
[5] Q.S. Al-Hajj(22): 52.
[6] Q.S. Al-Baqarah(2): 106.
[7] M. Hasbi ash-Shiddiqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, hlm. 138.
[8] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Maulana Hasanuddin,  (Jakarta: Pustaka Nusantara, 2009), hlm. 426-427.
[9] M. Quraish Shihab, Quraish Shihab menjawab 1001 Soal Keislaman…hlm.276.
[10] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih,terj. Moh.Zuhri dan Ahmad Qarib (Semarang: Dina Utama, 1994), hlm.348.
[11] Manna’ KhalilAl-Qattan,Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an.. hlm334-335.
[12] Ibid hlm. 335.
[13] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih,terj. Moh.Zuhri dan Ahmad Qarib (Semarang: Dina Utama, 1994), hlm. 346-347.