Senin, 27 Februari 2017

MUFASSIR



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Perlu kita ketahui, bahwa tafsir merupakan salah satu jalan untuk memahami kitab suci AL-QUR’AN yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Sangat mustahil seseorang akan paham Al-Qur’an secara kamil kalau tidak tahu tentang tafsir. Para orientalis barat melakukan serangan terhadap Al-Qur’an, ia berusaha untuk mengkritisi serta meragukan otentisitas dan kebenaran atau kesakralan Al-Qur’an . Kita tentu tidak akan  heran jika orang yang melakukan penyerangan terhadap Al-Qur’an tersebut berasal dari kalangan Yahudi dan Kristen. Akan tetapi menjadi sangat tragis dan ironis jika penyerangan itu juga dilakukan oleh kalangan yang menyatakan dirinya sebagai muslim, bahkan berkembang di berbagai perguruan tinggi negeri ataupun swasta yang memakai embel-embel Islam.
            Suatu ajakan untuk melakukan penapsiran ulang atau reinterprestasi terhadap Al-Qur’an semakain sering terdengar . Penafsiran ulang tersebut terutama dilakukan terhadap ayat-ayat yang dipandang tidak relevan dengan konteks zaman ini  atau dapat menimbulkan problem terhadap penganut agama lain. Akan tetapi,apakah setiap orang memiliki otoritas untuk menafsirkan Al-Qur’an ? Lantas siapakah yang memiliki otoritas untuk menafsirkan Al-Qur’an dan apa saja yang harus dipenuhi sebagai persyaratan olehnya.
            Setelah meyakini sepenuhnya bahwa Al-Qur’an betul-betul diturunkan dari Allah,tidak ada campur tangan pihak luar, termasuk malaikat Jibril dan Nabi Muhammad SAW, maka seseorang akan termotivikasi secara kontinu untuk mempelajarinya agar diperoleh pemahaman yang sesuai dengan yang dimaksud Allah didalam kitabNya. Untuk mendapatkan pemahaman yang yang demikian itu,seorang mufassir harus memiliki apa yang disebut dengan ilmu Tafsir.Tampa penguasaan ilmu tafsir itu seseorang akan menghadapi kesulitan yang luar biasa dalam menafsirkan kitab suci Al-Qur’an tersebut, dan tidak mustahil ia akan keliru dalam memaknai sebuah teks.
            Setelah meyakini sepenuhnya bahwa Al-Qur’an merupakan kitab suci yang merupakan sumber hokum yang utama, sebagai pedoman hidup setiap muslim agar hidup selamat dan bahagia di dunia dan akhirat. Oleh sebab itu, setiap muslim harus mengetahui dan memahami hukum ajaran-ajaran dan kandungan Al-Qur’an, untuk diterapkan dan diamalkan dalam kehidupan nyata sehari-hari. (ditto 7-8)
            Adapun syarat dan kepribadian mufassir membahas tentang hal-hal yang berkaitan tentang syarat-syarat dari seorang mufassir  dan etika serta kepribadiaanya yang harus dimiliki seorang mufassir,dimana mufassir harus menafsirkan Al-Qur’an dengan subjektif. Mufassir orang yang menafsirkan Al-Qur’an memiliki peranan penting,bahkan turut menentukan bagi pemayarakatan Al-Qur’an .Untuk itu, Mufassir perlu memiliki persyaratan,kepribadian dan ilmu tertentu yang harus dimiliki oleh seorang mufassir. (bunbun 1-10)
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa sajakah syarat-syarat seorang mufassir ?
2.      Apa sajakah etika yang harus dimiliki oleh seorang mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an ?
3.      Apa yang menjadi penyebab pokok kekeliruan dalam menafsirkan Al-Qur’an ?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui persyaratan –persyaratan Mufassir.
2.      Mengetahui Etika dalam menafsirkan Al-Qur”an.
3.      Mengetahui Sebab –sebab pokok kekeliruan dalam menafsirkan Al-Qur”an.






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Syarat-Syarat Mufassir.
Ahli Tafsir atau yang lebih dikenal sebagai mufassir memegang peranan penting dalam menerjemahkan dan menafsirkan teks-teks yang terkandung dalam Al-Qur’an sehingga kita mendapatkan penjelasan yang utuh,disebabkan keterbatasan berbagai aspek.
Tidak sedikit usaha yang dilakukan orang-orang yang berusaha menafsirkan, namun tidak disertai kemampuan ilmu yang memadai sehingga menjauhkan diri , terhadap Al-Qur’an . namun tetap saja muncul pertanyaan mengapa para ulama kita membuat syarat menjadi ahli tafsir,atau dengan kata lain syarat ketika akan menafsirkan Al-Qur’an , bukankah merupakan kewajiban bagi setiap muslim untuk membaca Al-Qur’an ? Benar adanya hal tersebut, akan tetapi ibarat ilmu pengobatan, semua orang berhak untuk mempelajarinya, namun tidak semua berwenang dan berhak memeriksa kesehatan dan merawat manusia, kecuali belajar dan pandai dalam hal pengobatan.
            Menafsirkan Al-Qur’an merupakan amanah yang sangat berat.Oleh karena itu tidak semua orang memiliki kemampuan untuk mengemban amanah tersebut. Siapa saja yang ingin menafsirkan Al-Qur’a harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Adanya persyaratan ini merupakan suatu hal yang wajar dalam semua bidang ilmu, demikian juga halnya dengan tafsir Al-Qur’an. Syarat yang mutlak diperlukan agar tidak terjadi kesalahan atau kerancauan dalam penafsiran.[1]
            Dalam penafsiran Al-Qur’an para ulama telah menetapkan  syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mufassir yaitu sebagai berikut:
1.      Memiliki akidah yang bersih dan benar, sebab akidah sangat berpengaruh terhadap jiwa pemiliknya.Ketika ia mempunyai akidah yang melenceng, tentu saja ia akan menafsirkan Al-Qur’an dengan berbagai penyimpangan yang nantinya akan merusak pemahaman  akan Al-Qur’an itu sendiri.
2.      Tidak mengikuti hawa nafsu, sebab hawa nafsu akan mendorong pemiliknya untuk membela kepentingan mazhabnya sehingga ia menipu manusia dengan kata-kata halus dan keterangannya menarik seperti yang dilakukan golongan qodariah,syi’ah dan para pendukung panatik mazhab lainnya.
3.      Menafsirkan,lebih dahulu Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, karena sesuatu yang masih global pada suatu tempat telah diperincikan pada tempat lain, dan sesuatu yang dikemukakan secara ringkas di suatu tempat telah diuraikan di tempat lain.
4.      Mencari penafsiran dari sunnah, karena sunnah berpungsi sebagai pensyarah Al-Qur’an dan penjelasannya.
5.      Apabila tidak didapatkan penafsiran dalam sunnah, hendaknya meninjau pendapat para sahabat karena mereka lebih mengetahui tentang tafsir Qur’an .Karena para sahabat lebih mengetahui tanda-tanda keadaan waktu turunnya Al-Qur’an serta mempunyai pemahaman yang sempurna.
6.      Apabila tidak ditemukan juga penafsiran dalam Al-Qur’an ,sunnah maupun dalam pendapat para sahabat, maka hendaklah meninjau pendapat para imam yaitu tabi’in ( pengikut sahabat)
7.      Mengetahui bahasa arab dan cabang-cabangnya. [2]    

Saking parahnya keawaman masyarakat sering mengelari faqih, ahli fiqih atau al- allamah pada orang yang biasa ceramah atau menulis kajian fiqih, padahal bisa jadi sebagian isi tulisannya hanya copas (baik yang bertanggung jawab maupun tidak), dan ceramahnya hanya hasil comot sana sini. Begitu juga, yang menulis artikel tafsir langsung disebut ahli tafsir, pakar tafsir atau mufassir. Yang ngerti sedikit membahas ilmu hadist atau hafal beberapa hadist, langsung dianggap pakar hadist. Yang ngisi rubric Tanya-jawab dan suka tarjih-menarjih langsung dianggap mujtahid. Inilah keawaman kita. Padahal unruk menjadi pakar, apabila penghulunya para pakar, syarat yang harus dipenuhi itu begitu banyak, dan tidak mudah bagi seseorang untuk memenuhi.Sebagai contoh, mari kita lihat apa saja yang diperlukan untuk menjadi seorang mufassir.Dr.Muhammad Ali-al Hasan dalam kitab beliau al- Manar fi Ulumul Qur’an Ma’a Madkhal fi Ushulit Tafsir wa Mashadirih menyebutkan beberapa hal yang harus dimiliki seseorang untuk bisa menafsirkan Al-Qur’an yaitu :
1.    Shahihnya aqidah si mufassir.
Seorang yang ingin menafsirkan al-Qur’an haruslah seorang yang lurus aqidahnya. Seorang ateis dan mubtadi’ tidak bisa diterima tafsirnya terhadap al-Qur’an, karena yang mereka inginkan dari tafsir tersebut adalah fitnah bagi umat Islam dan ta’wil untuk mendukung kesesatan mereka.
2.    Menguasai Ilmu bahasa Arab.
Seorang yang akan menafsirkan al-Qur’an wajib menguasai ilmu bahasa arab, karena bahasa arab merupakan bahasanya al-Qur’an. Tidak mungkin seseorang bisa memahami al-Qur’an, Jika ia tidak paham bahasa arab. Disinilah relevannya perkataan Syaikhnya para ahli tafsir dari kalangan tabi’in,Imam Mujahid –sebagaimana dinukil oleh Dr.Muhammad Ali al-Hasan-tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir berbicara tentang Kitabullah jika ia bukan seorang yang ‘Alim dalam bahasa Arab. Maksud beliau, terlarang bagi seseorang yang tak menguasai bahasa Arab untuk menafsirkan al-Qur’an.
Ilmu bahasa Arab memiliki beberapa cabang dan yang terpenting diantaranya :
a.    Ilmu nahwu
Makna kalimat bahasa Arab bisa berubah karena perbedaan posisi I’rabnya. Bahkan imam menjadi kufur,dan kufur bisa menjadi iman,hanya karena perubahan I’rabnya. Menguasai ilmu nahwu akan menghindarkan seorang mufassir dari kekeliruan yang fatal dalam memahami al-Qur’an. 
b.    Ilmu Sharaf
Dengan ilmu ini seseorang bisa memahami bentuk dan bangunan suatu kata. Dan jika seorang yang akan menafsirkan al-Qur’an tak memahami ilmu ini ,ia akan terjatuh pada kesalahan dan bid’ah.
c.    Isytiqaq
Pengetahuan tentang isytiqaq ini penting bagi seorang mufassir. Hal ini karena perbedaan dalam menentukan akar suatu kata mengakibatkan perbedaan dalam memahami makna kata tersebut.  
d.   Ilmu Balqhah
Ilmu balaghah memiliki tiga cabang, yaitu ilmu ma’ani, bayan dan badi. Dengan ilmu ma’ani dapat diketahui keistimewaan susunan-susunan kalimat dilihat dari segi maknanya. Dengan ilmu bayan dapat diketahui keistimewaan susunan-susunan kalimat ditinjau dari perbedaan bentuknya sesuai dengan jelas. Dengan ilmu badi’dapat diketahui sisi-sisi keindahan suatu kalimat.
Ilmu balaghah ini digunakan oleh mufassir untuk mengetahui I’jsz Qur’ani, kemukjizatan al-Qur’an. Bahasa al-Qur’an begitu indah dan menakjubkan, sehingga ia mampu melemahkan setiap makluk, baik manusia dan jika yang ingin membuat yang serupa dengannya.Dan I’jaz Qur’ani ini hanya bisa dirasakan oleh yang menguasai ilmu balaghah.
3.    Menguasai Ilmu Ushul Fiqih.
Ilmu ini merupakan ilmu wajib dikuasai oleh seorang mujtahid. Ilmu ini juga wajib bagi mufassir yang ingin menggali hokum dari ayat-ayat al-Qur’an. Dengan ilmu ini dapat diketahui bagaimana cara menggunakan dalil (dalam hal ini adalah al-Qur’an), yang dari dalil tersebut bisa diambil kesimpulan hokum tentang suatu perkara.
4.    Menguasai Ilmu Ushuluddin
Ilmu ini wajib dikuasai oleh setiap mufassir, agar ia tidak keliru dan tergelincir dalam aqidahnya.Dengan aqidah yang shahih,ia bisa memahami ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang alam semesta,manusia dan kehidupan dengan pemahaman yang benar dan lurus.
5.    Menguasai Ulumul Qur’an
Untuk memahami al-Qur’an dengan benar,mau tidak mau seorang mufassir harus menguasai Ulumul Qur’an. Diantara cabang ulumul Qur’an yang wajib dikuasai oleh seorang mufassir adalah:
a.    Ilmu qiraat
Dengan ilmu ini dapat diketahui tata cara pengucapan lafazh-lafazh al-Qur’an dengan benar. Makna dan tafsir al-Qur’an berbeda-beda jika lafazh-lafazh didalamnya dibaca secara berbeda pula. Dan jika kita kitab-kitab tafsir mu’tabar, kita akan temukan banyak pembahasan terkait ilmu ini saat mufassir ingin menunjukan makna atau tafsir yang paling tepat atas suatu lafazh atau ayat.
b.    Ilmu Asbabun Nuzul
Sebagian ayat al-Qur’an diturunkan terkait peristiwa yang terjadi dimasa turunnya ayat-ayat tersebut, sebaian lagi diturunkan untuk menjawab pertanyaan yang diajukan kepada Rasululah. Untuk mengetahui makna yang benar atas suatu ayat, tentu kita harus mengetahui apa yang menyebabkan ayat itu diturunkan. Disinilan pentingnya seorang mufassir menguasai ilmu asbabun nuzul.
c.    Ilmu Nasikh Mansukh
Dimasa Rasululah SAW masih hidup, kadang turun ayat al-Qur’an yang menyebutkan suatu hokum perbuatan, dan dimasa berikutnyan turun ayat yang lain lagi yang menghapus hokum dari ayat sebelumnya. Inilah pembahasan nasikh-mansukh.Sebagaimana dalam hadist, dalam al-Qur’an pun ia ada. Jika seorang tidak megetahui nasikh-mansukh dalam al-Qur’an, bisa jadi ia menyimpulkan hokum dari suatu ayat al-Qur’an , padahal hokum dari ayat tersebut sudah mansukh oleh ayat yang lain.
d.   Ilmu qashashul Qur’an
Sebagaimana diketahui , banyak cerita dalam al-Qur’an, namun itu bukanlah seperti buku sejarah atau biografi yang memuat cerita tersebut secara runut. Al-Qur’an memuat cerita-cerita tersebut lebih sebagai pelajaran bagi umat Islam, sehingga pemuatan cerita-cerita tersebut kadang terpisah-pisah diberbagai surah al-Qur’an. Seorang mufassir perlu mengetahui gambaran global dari masing-masing cerita tersebut, agar ia bisa menafsirkan penggalan-penggalan cerita ditiap surah secara tepat.[3]
6.    Mengetahui hadits-hadist Nabi yang berisi tafsir terhadap ayat-ayat al-Qur’an
Orang yang paling memahami al-Qur’an adalah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Jadi agar seorang mufassir tidak menyimpang tafsirnya, ia wajib mengetahui hadist-hadist Nabi yang terkait dengan ayat yang ingin ia tafsirkan.
7.    Mengetahui tafsir shahabat
Setelah Nabi, para shahabatlah yang paling mengetahui al-Qur’an, karena mereka hidup di masa turunnya al-Qur’an ,hari-hari mereka dihabiskan dengan membersamai Rasul, sang penerima wahyu. Jadi seorang mufassir wajib mengetahui tafsir para shahabat, dan menjadikannya sumber ketiga dalam penafsiran al-Qur’an setelah al-Qur;an itu sendiri dan hadist Nabi SAW.                                                     
B.  Etika Mufassir dalam menafsirkan ayat al- Qur’an
Al-Qur’an adalah kalammulah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW lewat perantara malaikat Jebril sebagai mu’jizat. Al-Qur’an adalah sumber ilmu bagi kaum muslimin yang merupakan dasar-dasar hokum yang mencakup segala hal,baik aqidah,ibadah,etika,mu’amalah dan sebagainya.Seorang mufassir tidak cukup hanya menguasai ilmu yang berkenaan dengan tafsir saja, melainkan ia dituntut untuk melakukannya dengan dibarengi hati yang jernih, yaitu iklas, niat yang baik dan taqwa kepada Allah SWT.
Al-Zarkasyi mengemukakan pendapatnya dalam kitab Al-Burhan : Ketahuilah bahwa memahami makna wahyu Ilahi tidak akan berhasil dan tidak akan mendapatkan rahasianya apabila didalam hatinya ada kesombungan, hawa nafsu, cinta dunia, melakukannya demi perbuatan dosa, tidak mengetahui hakekat iman, mengambil pandangan orang lain tampa dilandasi ilmu atau cenderung menggunakan akalnya.Ini semua adalah penghalang yang harus disingkirkan dari diri seseorang Mufassir.
Berikut adalah etika yang harus dimiliki oleh seorang mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an:
1.    Baik niat dan tujuannya.Bahwa segala pekerjaan itu dimulai dengan niat.Ilmu syariat yang lebih di utamakan menganjurkan berbuat makruf guna untuk kebaikan islam. Mencucikan niat duniawi untuk menutupi kesalahan-kesalahannya terhadap Alla. Memanfaatkan dengan ilmu dalam hal ini membuahkan keiklasan.
2.    Baik akhlaknya . Ahli-ahli tafsir itu berdiri atas budi pekerti yang baik dan terpuji. Jangan sampai bertingkah laku yang keterlaluan, selain dari itu menjadi contoh tauladan bagi orang banyak dalam segi aklak dan moral.
3.    Mengingat perintah Allah dan beramal.Ilmu yang diterima dari orang-orang yang beramal itu hasilnya akan berlipat ganda.
4.    Meneliti dan memeriksa Al-Qur’an dan Hadist. Jangan berbicara atau menulis, selain dari apa yang telah ditetapkan oleh para peneliti, sehingga dengan demikian dia akan terhindar dari kesalahan dalam kata-kata dan salah tulis.
5.    Bersikap rendah hati dan lemah lembut.
6.    Bersikap terus terang dalam kebenaran.
7.    Jangan ceroboh. Hendaklah berbicara dengan pelan, sehingga dapat dimengerti dan jelas.
8.    Mendahulukan orang yang lebih pantas dari padanya.
9.    Adanya persiapan yang baik dan metode yang baik untuk dipergunakan dalam membuat tafsir.
Tafsirnya dimulai dengan menyebutkan sebab-sebab turunnya ayat,sesudah itu mupradat , sudah itu menjelaskan duduk persoalannya, susunan hurufnya, menerangkan bentuk balagah dari I’rab sampai kepada membatasi arti.Sudah itu menerangkan arti itu secara umum dan menghubungkannya dengan kehidupan umum orang yang hidup pada masanya. Sesudah itu mengambil kesimpulan dan hokum-hukumnya. Juga menyebutkan hal-hal yang bersesuaian dengan mengikat di antara ayat-ayat permulaan dengan kemudian.
C . Sebab-sebab Pokok Kekeliruan dalam Menafsirkan Al-Qur’an
Menafsirkan Al-Qur’an bukanlah suatu perkara yang mudah,karenanya ia memerlukan persyaratan-persyaratan yang ketat melalui proses penguasaan berbagai ilmu alat sehingga seorang layak disebut mufassir. Penguasaan ilmu alat saja tidak cukup, apabila mufassir tidak memahami metode penafsiran. Ketidak pahaman metode ini akan menyebabkan kesulitan mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an. Bahkan cenderung pada kesalahan.
      Adz-dzahabi menyebutkan kemungkinan kekeliruan para mufassir dalam menafsirkan ayat Al- Qur’an tersebut dalam dua faktor penting yaitu:
1.    Kecenderungan untuk meyakini kebenaran salah satu makna di antara banyak makna yang mungkin diterapkan, kemudian memakai keyakinannya untuk menafsirkan semua lafal Al-Qur’an.
2.    Kecenderungan untuk menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan makna yang dipahami oleh tutur bahasa arab saja, tampa memperhatikan siapa yang berbicara dengan menggunakan Al-Qur’an itu, kepada siapa diturunkannya dan siapa yang dibicarakan oleh Al-Qur’an itu.
      Dari kedua macam uraian di atas, dapat kita pahami bahwa meskipun secara teori para ulama telah memberikan batasan-batasan idial, sebagai hasil kesimpulan yang kita peroleh dari pernyataan Ibnu Abas, dan juga mungkin patokan –patokan yang dijelaskan oleh para mufassir itu berbuat keliru dalam menafsirkan Al-Qur’an . Penyebab pokok kekeliruan penafsiran Al-Qur’an dapat di tinaju dari tiga segi :
1.    Ditinjau dari segi mufassir ( pelakunya )
Sebagaimana penjelasan Quraish shihab dan Adz-dzahabi tersebut diatas kita bisa memperkirakan dan melihat bentuk-bentuk penyimpangan penafsiran Al-Qur’an . Pertama : Berkaitan dengan subyektivitas mufassir, kita bisa melihat kecenderungan-kecenderungan para mufassir untuk menafsirkan menurut seleranya,mungkin berkaitan dengan mazhabnya, bidang kajian yang dimintainya atau bahkan cenderung lain yang berkaitan keinginan-keinginan pribadi atau kelompoknya.[4]
a.       Subyektivitas si mufassir yang bermula dari perbedaan kemampuan, orientasi, system berpikir, keyakinan atas kebenaran pendapat atau mazhab yang dianutnya[5], kepentingan dan keinginan.mazhab yang dianutnya, kepentingan dan keinginan.
Dalam kasus ini bisa kita lihat contoh penafsiran yang dilakukan oleh Az-Zamakhsyari, ketika ia menafsirkan kata : Nadhirah dalam surat al- Qiyamah 23: Ia tafsir kata nadhirah dalam ayat dengan pandangannya yang selaras dengan doktrin mazhabnya (Mu’tazilzh) dan keahlihan bahasanya. Kata  nadhirah yang secara umum diterjemahkan dengan melihat,ia tafsirkan dengan pernyataan: memandang di sini bukan berarti melihat, dan melihat bukanlah salah satu makaud dari kata nadhirah tersebut.Namun nadhirah memiliki arti yang banyak, antara lain: Menggerakan biji mata kearah satu benda untuk melihatnya, menunggu, simpati dan berbaik hati dan berpikir atau merenung. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa kata nadhirah didalam ayat tersebut lebih tepat diartikan dengan menunggu,karena kita tidak mungkin melihat Allah.
b.      Tidak menguasai ilmu alat, seperti Nahwu, Sharaf, dan lain-lain. Contoh: Kekeliruan orientasi menafsirkan surat Maryam 19.Artinya Ia (Jibril) berkata : Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhan-Mu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci. (Q.S. Maryam  19)
2.    Ditinjau dari segi materi (sasarannya)

a.           Kurang memperhatikan siapa yang menjadi Mukhattab ayat, untuk ini

perlu diperhatikan ayat-ayat sebelumnya. Berkaitan dengan konteks soal kemasyarakatan yang lebih luas, kita melihat beberapa kasus, diantaranya penafsiran kata mubsirah dalam surat Al- Isra’ ayat 59 :
kata mubshirah di dalam ayat tersebut memiliki makna kontekstual . Sehingga tidak mungkin di beri makna dengan arti oriensinalnya.Jika kata mubshirah di dalam ayat tersebut ditafsirkan sesuai dengan makna oriensinalnya melihat dengan mata kepala, yang menerapkan kata Naqah ( Onta Betina ), maka penafsiran itu tidak kontekstual lagi karena kata mubshirah yang di maksudkan dengan ayat tersebut adalah sebuah mukjizat yang dapat membuktikan kebenaran Nabi Shaleh terhadap kaum Tsamud pada saat itu.
b.           Tidak memperhatikan siapa yang mutakallim yang dibicarakan ayat.
c.           Mendahulukan yang mutlaq dari yang muqoyyad.
d.          Tidak memperhatikan munasabah ayat.
e.           Tidak menguasai masalah yang ditafsirkan
f.            Mendahulukan yang mutasyabih dari yang muhkam
3.    Ditinjau dari segi produk karyanya.
     Berkaitan dengan kekurangan penguasaan ilmu pokok dan bantu dalam menafsirkan Al- Qur’an, sebagaimana yang dipaparkan oleh Quraish Shihab, bisa kita lihat pada kasus penafsiran yang dilakukan oleh para ilmuwan yang tidak memiliki ilmu pokok (dalam penafsiran Al-Qur’an) secara memadai atau mufassir yang memiliki kemampuan penguasaan ilmu pokok, tetapi kurang menguasai ilmu bantu.  Misalnya, jika seorang ilmuwan berupaya mengaitkan kebenaran penemuan ilmiahnya dengan setatemen-setatemen Al-Qur’an , sebenarnya merupakan usaha mulia.Tetapi dapat dikatakan sebagai suatu kecerobohan yang bermakna kecenderungan untuk menyimpang andai kata al- Qur’an dengan seperangkat setatemennya justru di uji oleh kebenaran ilmiah yang mereka temukan.
Sebab hasil suatu penelitian bukanlah suatu yang bernilai final, sementara kebenaran yang ada didalam Al-Qur’an bernilai universal. Demikian juga, misalnya seorang mufassir tidak boleh begitu saja menafikkan hasil penelitiaan ilmiah. Misalnya dalam kasus penafsiran ayat-ayat kauniah, tentu saja peristilahan keilmuan harus tetap menjadi perhatian para mufassir, demikian juga pengetahuan eksata, misalnya dalam ilmu kedokteran, harus menjadi perhatian para mufassir ketika menafsirkan ayat yang berkaitan dengan masalah kedokteran.
Dua contoh kasus penafsiran ketika dipaparkan oleh Adz- dzahabi, ketika menafsirkan kata faqtha’u pada surat al- Maidah ayat 38
Ada ilmuwan yang menafsirkan bahwa kata tersebut bukan menunjukan hokum wajib, tetapi ibadah. Disini adz-Dzahabi bertanya kapan si mufassir dapat menafsir amar tersebut bukan suatu kewajiban ? kemudian ketika menafsirkan ayat 61 dari surat Al- Baqoroh :
Thanthawi Jauhari Menguraikan dengan teori-teori medis, yang terlalu jauh. Sehingga penafsirannya justru membias sangat jauh. Cara inilah yang di anggap mengkawatirksn untuk terjadinya penyimpangan penapsiran, bila tidak terkontrol dengan baik.










BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Dari pembahasan bab sebelumnya , kita dapat memperoleh sebuah kesimpulan tentang pengertian bahwa penjelasan terhadap makna Al-Qur’an merupakan suatu keharusan .Tetapi keharusan tersebut, disamping memerlukan kehati-hatian, juga memerlukan persyaratan yang tidak selayaknya di langgar. Meskipun beberapa persyaratan yang dikemukakan oleh para ulama tersebut merupakan hasil ijtihad, tetapi minimal dapat dipahami sebagai patokan dasar yang selayaknya diperhatikan dalam penafsiran. Pelanggaran terhadap patokan-patokan dasar tersebut memang ada kalanya tidak menimbulkan kesalahan interprestasi, tetapi kemungkinan terjadinya kesalahan akan menjadi lebih besar.
Disamping itu sejauh yang telah diupayakan oleh para ulama untuk menaati syarat-syarat yang menjadi patokan dasar sebagai mufassir, tetapi dalam realitanya kesalahan interprestasi terhadap Al-Qur’an pun masih mungkin terjadi.untuk itu apa yang dinyatakan adz Dzahabi dan Quraish Shihab perlu diperhatikan, disamping beberapa pelajaran tentang kesalahan dan kemungkinan salah yang telah dilakukan oleh para mufassir. Dapat kita lihat dari segi tiga hal yaitu :
1.      Dari segi mufassirnya.
2.      Dari segi Materinya.
3.      Dari segi karyanya.
B.  Saran
Dalam penulisan makalah ini, penulis sanagat menharapkan kritik dan saran-saran yang bersifat membangun untuk dapat memperbiki  kedepannya, karena kita manusia masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan . Dalam hal ini kami menyadari kekurangan akan kesempurnaan dalam penulisan makalah ini.                                                        

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad von Denffer, Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Rajawali, 1988
Az-Zarqani, Abdul Adhim, Ulum al-Qur’an,Kairo: Isa al Babiy al- Halaby,tt
Muhammad Husin az Dzahabi, Penyimpangan-penyimpangan dalam al- Qur’an Jakarta: Rajawali, 1986
Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi’ Ulum al-Qur’an, Makkah: Dar al-Sudiyah, 1971
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan. 1992
          ------------- Quraish Shihab menjawab 1001 soal keislaman yang patut anda ketahui, Jakarta, Lentera hati, 2008.     
Ahmad Mustafa al-Maraghi, terjemah tafsir al-maraghi,Semarang:Toha Putra, 2010.




[1] Ilmu Al-Qur’an,buku berjudul pengantar study.Ilmu Al-Qur’an,Syeikh manna Al qottan,Terjemaah H.Aunur Rafiq el Masni,Lc,MA, Pustaka Al-Kausar,Jakarta 2004 : 13

[2] Manna’al-Qaththan,Mabahits fi ‘ Ulum al-Quran,  (Makkah Dar al- Sudiyah, 1971), hal.280 , dan  Quraish Shihab menjawab 1001 soal keislaman yang patut anda ketahui,            (Jakarta: Lentera hati, 2008) hlm.277.          
[3]Baca  Ahmad Mustafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi,(Semarang:Toha Putra, 2010)hlm.xxv.

[4] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung : Mizan. 1992) hal. 83

[5] Muhammad Husin az Dzahabi, Penyimpangan-penyimpangan…….hal. 10

1 komentar:
Write komentar
  1. Grand Victoria Casino Hotel, Cotai | Mapyro
    Grand Victoria Casino Hotel, 강릉 출장안마 Cotai is a hotel in 남원 출장마사지 Cotai. View maps, reviews and 속초 출장마사지 information for Grand Victoria Casino 나주 출장마사지 Hotel in Cotai, Macao. 의정부 출장마사지

    BalasHapus