BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Perlu
kita ketahui, bahwa tafsir merupakan salah satu jalan untuk memahami kitab suci
AL-QUR’AN yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Sangat mustahil
seseorang akan paham Al-Qur’an secara kamil kalau tidak tahu tentang tafsir.
Para orientalis barat melakukan serangan terhadap Al-Qur’an, ia berusaha untuk
mengkritisi serta meragukan otentisitas dan kebenaran atau kesakralan Al-Qur’an
. Kita tentu tidak akan heran jika orang
yang melakukan penyerangan terhadap Al-Qur’an tersebut berasal dari kalangan
Yahudi dan Kristen. Akan tetapi menjadi sangat tragis dan ironis jika
penyerangan itu juga dilakukan oleh kalangan yang menyatakan dirinya sebagai
muslim, bahkan berkembang di berbagai perguruan tinggi negeri ataupun swasta
yang memakai embel-embel Islam.
Suatu ajakan untuk melakukan
penapsiran ulang atau reinterprestasi terhadap Al-Qur’an semakain sering
terdengar . Penafsiran ulang tersebut terutama dilakukan terhadap ayat-ayat
yang dipandang tidak relevan dengan konteks zaman ini atau dapat menimbulkan problem terhadap
penganut agama lain. Akan tetapi,apakah setiap orang memiliki otoritas untuk
menafsirkan Al-Qur’an ? Lantas siapakah yang memiliki otoritas untuk
menafsirkan Al-Qur’an dan apa saja yang harus dipenuhi sebagai persyaratan
olehnya.
Setelah meyakini sepenuhnya bahwa
Al-Qur’an betul-betul diturunkan dari Allah,tidak ada campur tangan pihak luar,
termasuk malaikat Jibril dan Nabi Muhammad SAW, maka seseorang akan termotivikasi
secara kontinu untuk mempelajarinya agar diperoleh pemahaman yang sesuai dengan
yang dimaksud Allah didalam kitabNya. Untuk mendapatkan pemahaman yang yang
demikian itu,seorang mufassir harus memiliki apa yang disebut dengan ilmu
Tafsir.Tampa penguasaan ilmu tafsir itu seseorang akan menghadapi kesulitan
yang luar biasa dalam menafsirkan kitab suci Al-Qur’an tersebut, dan tidak
mustahil ia akan keliru dalam memaknai sebuah teks.
Setelah meyakini sepenuhnya bahwa
Al-Qur’an merupakan kitab suci yang merupakan sumber hokum yang utama, sebagai
pedoman hidup setiap muslim agar hidup selamat dan bahagia di dunia dan
akhirat. Oleh sebab itu, setiap muslim harus mengetahui dan memahami hukum
ajaran-ajaran dan kandungan Al-Qur’an, untuk diterapkan dan diamalkan dalam
kehidupan nyata sehari-hari. (ditto 7-8)
Adapun syarat dan kepribadian
mufassir membahas tentang hal-hal yang berkaitan tentang syarat-syarat dari
seorang mufassir dan etika serta
kepribadiaanya yang harus dimiliki seorang mufassir,dimana mufassir harus
menafsirkan Al-Qur’an dengan subjektif. Mufassir orang yang menafsirkan
Al-Qur’an memiliki peranan penting,bahkan turut menentukan bagi pemayarakatan
Al-Qur’an .Untuk itu, Mufassir perlu memiliki persyaratan,kepribadian dan ilmu
tertentu yang harus dimiliki oleh seorang mufassir. (bunbun 1-10)
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
sajakah syarat-syarat seorang mufassir ?
2. Apa
sajakah etika yang harus dimiliki oleh seorang mufassir dalam menafsirkan
Al-Qur’an ?
3. Apa
yang menjadi penyebab pokok kekeliruan dalam menafsirkan Al-Qur’an ?
C. Tujuan
Penulisan
1. Mengetahui
persyaratan –persyaratan Mufassir.
2. Mengetahui
Etika dalam menafsirkan Al-Qur”an.
3. Mengetahui
Sebab –sebab pokok kekeliruan dalam menafsirkan Al-Qur”an.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Syarat-Syarat
Mufassir.
Ahli Tafsir atau yang
lebih dikenal sebagai mufassir memegang peranan penting dalam menerjemahkan dan
menafsirkan teks-teks yang terkandung dalam Al-Qur’an sehingga kita mendapatkan
penjelasan yang utuh,disebabkan keterbatasan berbagai aspek.
Tidak sedikit usaha
yang dilakukan orang-orang yang berusaha menafsirkan, namun tidak disertai kemampuan
ilmu yang memadai sehingga menjauhkan diri , terhadap Al-Qur’an . namun tetap
saja muncul pertanyaan mengapa para ulama kita membuat syarat menjadi ahli
tafsir,atau dengan kata lain syarat ketika akan menafsirkan Al-Qur’an ,
bukankah merupakan kewajiban bagi setiap muslim untuk membaca Al-Qur’an ? Benar
adanya hal tersebut, akan tetapi ibarat ilmu pengobatan, semua orang berhak
untuk mempelajarinya, namun tidak semua berwenang dan berhak memeriksa
kesehatan dan merawat manusia, kecuali belajar dan pandai dalam hal pengobatan.
Menafsirkan
Al-Qur’an merupakan amanah yang sangat berat.Oleh karena itu tidak semua orang
memiliki kemampuan untuk mengemban amanah tersebut. Siapa saja yang ingin
menafsirkan Al-Qur’a harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Adanya persyaratan ini
merupakan suatu hal yang wajar dalam semua bidang ilmu, demikian juga halnya
dengan tafsir Al-Qur’an. Syarat yang mutlak diperlukan agar tidak terjadi
kesalahan atau kerancauan dalam penafsiran.[1]
Dalam
penafsiran Al-Qur’an para ulama telah menetapkan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang
mufassir yaitu sebagai berikut:
1. Memiliki
akidah yang bersih dan benar, sebab akidah sangat berpengaruh terhadap jiwa
pemiliknya.Ketika ia mempunyai akidah yang melenceng, tentu saja ia akan
menafsirkan Al-Qur’an dengan berbagai penyimpangan yang nantinya akan merusak
pemahaman akan Al-Qur’an itu sendiri.
2. Tidak
mengikuti hawa nafsu, sebab hawa nafsu akan mendorong pemiliknya untuk membela
kepentingan mazhabnya sehingga ia menipu manusia dengan kata-kata halus dan
keterangannya menarik seperti yang dilakukan golongan qodariah,syi’ah dan para
pendukung panatik mazhab lainnya.
3. Menafsirkan,lebih
dahulu Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, karena sesuatu yang masih global pada suatu
tempat telah diperincikan pada tempat lain, dan sesuatu yang dikemukakan secara
ringkas di suatu tempat telah diuraikan di tempat lain.
4. Mencari
penafsiran dari sunnah, karena sunnah berpungsi sebagai pensyarah Al-Qur’an dan
penjelasannya.
5. Apabila
tidak didapatkan penafsiran dalam sunnah, hendaknya meninjau pendapat para
sahabat karena mereka lebih mengetahui tentang tafsir Qur’an .Karena para
sahabat lebih mengetahui tanda-tanda keadaan waktu turunnya Al-Qur’an serta
mempunyai pemahaman yang sempurna.
6. Apabila
tidak ditemukan juga penafsiran dalam Al-Qur’an ,sunnah maupun dalam pendapat
para sahabat, maka hendaklah meninjau pendapat para imam yaitu tabi’in (
pengikut sahabat)
7. Mengetahui
bahasa arab dan cabang-cabangnya. [2]
Saking parahnya keawaman masyarakat sering mengelari faqih,
ahli fiqih atau al- allamah pada orang yang biasa ceramah atau menulis kajian
fiqih, padahal bisa jadi sebagian isi tulisannya hanya copas (baik yang
bertanggung jawab maupun tidak), dan ceramahnya hanya hasil comot sana sini. Begitu juga, yang
menulis artikel tafsir langsung disebut ahli tafsir, pakar tafsir atau
mufassir. Yang ngerti sedikit membahas ilmu hadist atau hafal beberapa hadist,
langsung dianggap pakar hadist. Yang ngisi rubric Tanya-jawab dan suka tarjih-menarjih
langsung dianggap mujtahid. Inilah keawaman kita. Padahal unruk menjadi pakar,
apabila penghulunya para pakar, syarat yang harus dipenuhi itu begitu banyak,
dan tidak mudah bagi seseorang untuk memenuhi.Sebagai contoh, mari kita lihat
apa saja yang diperlukan untuk menjadi seorang mufassir.Dr.Muhammad Ali-al
Hasan dalam kitab beliau al- Manar fi Ulumul Qur’an Ma’a Madkhal fi Ushulit
Tafsir wa Mashadirih menyebutkan beberapa hal yang harus dimiliki seseorang
untuk bisa menafsirkan Al-Qur’an yaitu :
1. Shahihnya
aqidah si mufassir.
Seorang yang ingin menafsirkan al-Qur’an
haruslah seorang yang lurus aqidahnya. Seorang ateis dan mubtadi’ tidak bisa
diterima tafsirnya terhadap al-Qur’an, karena yang mereka inginkan dari tafsir
tersebut adalah fitnah bagi umat Islam dan ta’wil untuk mendukung kesesatan
mereka.
2. Menguasai
Ilmu bahasa Arab.
Seorang yang akan menafsirkan al-Qur’an
wajib menguasai ilmu bahasa arab, karena bahasa arab merupakan bahasanya
al-Qur’an. Tidak mungkin seseorang bisa memahami al-Qur’an, Jika ia tidak paham
bahasa arab. Disinilah relevannya perkataan Syaikhnya para ahli tafsir dari
kalangan tabi’in,Imam Mujahid –sebagaimana dinukil oleh Dr.Muhammad Ali al-Hasan-tidak
halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir berbicara tentang
Kitabullah jika ia bukan seorang yang ‘Alim dalam bahasa Arab. Maksud beliau,
terlarang bagi seseorang yang tak menguasai bahasa Arab untuk menafsirkan
al-Qur’an.
Ilmu bahasa Arab memiliki beberapa
cabang dan yang terpenting diantaranya :
a. Ilmu
nahwu
Makna kalimat bahasa Arab bisa berubah
karena perbedaan posisi I’rabnya. Bahkan imam menjadi kufur,dan kufur bisa
menjadi iman,hanya karena perubahan I’rabnya. Menguasai ilmu nahwu akan
menghindarkan seorang mufassir dari kekeliruan yang fatal dalam memahami
al-Qur’an.
b. Ilmu
Sharaf
Dengan ilmu ini
seseorang bisa memahami bentuk dan bangunan suatu kata. Dan jika seorang yang
akan menafsirkan al-Qur’an tak memahami ilmu ini ,ia akan terjatuh pada
kesalahan dan bid’ah.
c. Isytiqaq
Pengetahuan tentang isytiqaq ini penting
bagi seorang mufassir. Hal ini karena perbedaan dalam menentukan akar suatu
kata mengakibatkan perbedaan dalam memahami makna kata tersebut.
d. Ilmu
Balqhah
Ilmu balaghah memiliki
tiga cabang, yaitu ilmu ma’ani, bayan dan badi. Dengan ilmu ma’ani dapat
diketahui keistimewaan susunan-susunan kalimat dilihat dari segi maknanya.
Dengan ilmu bayan dapat diketahui keistimewaan susunan-susunan kalimat ditinjau
dari perbedaan bentuknya sesuai dengan jelas. Dengan ilmu badi’dapat diketahui
sisi-sisi keindahan suatu kalimat.
Ilmu balaghah ini
digunakan oleh mufassir untuk mengetahui I’jsz Qur’ani, kemukjizatan al-Qur’an.
Bahasa al-Qur’an begitu indah dan menakjubkan, sehingga ia mampu melemahkan
setiap makluk, baik manusia dan jika yang ingin membuat yang serupa
dengannya.Dan I’jaz Qur’ani ini hanya bisa dirasakan oleh yang menguasai ilmu
balaghah.
3. Menguasai Ilmu Ushul
Fiqih.
Ilmu ini merupakan ilmu
wajib dikuasai oleh seorang mujtahid. Ilmu ini juga wajib bagi mufassir yang
ingin menggali hokum dari ayat-ayat al-Qur’an. Dengan ilmu ini dapat diketahui
bagaimana cara menggunakan dalil (dalam hal ini adalah al-Qur’an), yang dari
dalil tersebut bisa diambil kesimpulan hokum tentang suatu perkara.
4. Menguasai
Ilmu Ushuluddin
Ilmu ini wajib dikuasai
oleh setiap mufassir, agar ia tidak keliru dan tergelincir dalam
aqidahnya.Dengan aqidah yang shahih,ia bisa memahami ayat-ayat al-Qur’an yang
berbicara tentang alam semesta,manusia dan kehidupan dengan pemahaman yang
benar dan lurus.
5. Menguasai
Ulumul Qur’an
Untuk memahami al-Qur’an dengan
benar,mau tidak mau seorang mufassir harus menguasai Ulumul Qur’an. Diantara
cabang ulumul Qur’an yang wajib dikuasai oleh seorang mufassir adalah:
a. Ilmu
qiraat
Dengan ilmu ini dapat diketahui tata
cara pengucapan lafazh-lafazh al-Qur’an dengan benar. Makna dan tafsir
al-Qur’an berbeda-beda jika lafazh-lafazh didalamnya dibaca secara berbeda
pula. Dan jika kita kitab-kitab tafsir mu’tabar, kita akan temukan banyak
pembahasan terkait ilmu ini saat mufassir ingin menunjukan makna atau tafsir
yang paling tepat atas suatu lafazh atau ayat.
b. Ilmu
Asbabun Nuzul
Sebagian ayat al-Qur’an
diturunkan terkait peristiwa yang terjadi dimasa turunnya ayat-ayat tersebut,
sebaian lagi diturunkan untuk menjawab pertanyaan yang diajukan kepada
Rasululah. Untuk mengetahui makna yang benar atas suatu ayat, tentu kita harus
mengetahui apa yang menyebabkan ayat itu diturunkan. Disinilan pentingnya
seorang mufassir menguasai ilmu asbabun nuzul.
c. Ilmu
Nasikh Mansukh
Dimasa Rasululah SAW masih hidup, kadang
turun ayat al-Qur’an yang menyebutkan suatu hokum perbuatan, dan dimasa
berikutnyan turun ayat yang lain lagi yang menghapus hokum dari ayat
sebelumnya. Inilah pembahasan nasikh-mansukh.Sebagaimana dalam hadist, dalam
al-Qur’an pun ia ada. Jika seorang tidak megetahui nasikh-mansukh dalam
al-Qur’an, bisa jadi ia menyimpulkan hokum dari suatu ayat al-Qur’an , padahal
hokum dari ayat tersebut sudah mansukh oleh ayat yang lain.
d. Ilmu
qashashul Qur’an
Sebagaimana diketahui , banyak cerita
dalam al-Qur’an, namun itu bukanlah seperti buku sejarah atau biografi yang
memuat cerita tersebut secara runut. Al-Qur’an memuat cerita-cerita tersebut
lebih sebagai pelajaran bagi umat Islam, sehingga pemuatan cerita-cerita
tersebut kadang terpisah-pisah diberbagai surah al-Qur’an. Seorang mufassir
perlu mengetahui gambaran global dari masing-masing cerita tersebut, agar ia
bisa menafsirkan penggalan-penggalan cerita ditiap surah secara tepat.[3]
6. Mengetahui
hadits-hadist Nabi yang berisi tafsir terhadap ayat-ayat al-Qur’an
Orang yang paling
memahami al-Qur’an adalah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Jadi agar
seorang mufassir tidak menyimpang tafsirnya, ia wajib mengetahui hadist-hadist
Nabi yang terkait dengan ayat yang ingin ia tafsirkan.
7. Mengetahui
tafsir shahabat
Setelah Nabi, para
shahabatlah yang paling mengetahui al-Qur’an, karena mereka hidup di masa
turunnya al-Qur’an ,hari-hari mereka dihabiskan dengan membersamai Rasul, sang
penerima wahyu. Jadi seorang mufassir wajib mengetahui tafsir para shahabat,
dan menjadikannya sumber ketiga dalam penafsiran al-Qur’an setelah al-Qur;an
itu sendiri dan hadist Nabi SAW.
B. Etika
Mufassir dalam menafsirkan ayat al- Qur’an
Al-Qur’an adalah
kalammulah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW lewat perantara malaikat
Jebril sebagai mu’jizat. Al-Qur’an adalah sumber ilmu bagi kaum muslimin yang
merupakan dasar-dasar hokum yang mencakup segala hal,baik
aqidah,ibadah,etika,mu’amalah dan sebagainya.Seorang mufassir tidak cukup hanya
menguasai ilmu yang berkenaan dengan tafsir saja, melainkan ia dituntut untuk
melakukannya dengan dibarengi hati yang jernih, yaitu iklas, niat yang baik dan
taqwa kepada Allah SWT.
Al-Zarkasyi
mengemukakan pendapatnya dalam kitab Al-Burhan : Ketahuilah bahwa memahami
makna wahyu Ilahi tidak akan berhasil dan tidak akan mendapatkan rahasianya
apabila didalam hatinya ada kesombungan, hawa nafsu, cinta dunia, melakukannya
demi perbuatan dosa, tidak mengetahui hakekat iman, mengambil pandangan orang
lain tampa dilandasi ilmu atau cenderung menggunakan akalnya.Ini semua adalah
penghalang yang harus disingkirkan dari diri seseorang Mufassir.
Berikut adalah etika
yang harus dimiliki oleh seorang mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an:
1. Baik
niat dan tujuannya.Bahwa segala pekerjaan itu dimulai dengan niat.Ilmu syariat
yang lebih di utamakan menganjurkan berbuat makruf guna untuk kebaikan islam.
Mencucikan niat duniawi untuk menutupi kesalahan-kesalahannya terhadap Alla.
Memanfaatkan dengan ilmu dalam hal ini membuahkan keiklasan.
2. Baik
akhlaknya . Ahli-ahli tafsir itu berdiri atas budi pekerti yang baik dan
terpuji. Jangan sampai bertingkah laku yang keterlaluan, selain dari itu
menjadi contoh tauladan bagi orang banyak dalam segi aklak dan moral.
3. Mengingat
perintah Allah dan beramal.Ilmu yang diterima dari orang-orang yang beramal itu
hasilnya akan berlipat ganda.
4. Meneliti
dan memeriksa Al-Qur’an dan Hadist. Jangan berbicara atau menulis, selain dari
apa yang telah ditetapkan oleh para peneliti, sehingga dengan demikian dia akan
terhindar dari kesalahan dalam kata-kata dan salah tulis.
5. Bersikap
rendah hati dan lemah lembut.
6. Bersikap
terus terang dalam kebenaran.
7. Jangan
ceroboh. Hendaklah berbicara dengan pelan, sehingga dapat dimengerti dan jelas.
8. Mendahulukan
orang yang lebih pantas dari padanya.
9. Adanya
persiapan yang baik dan metode yang baik untuk dipergunakan dalam membuat
tafsir.
Tafsirnya dimulai
dengan menyebutkan sebab-sebab turunnya ayat,sesudah itu mupradat , sudah itu
menjelaskan duduk persoalannya, susunan hurufnya, menerangkan bentuk balagah
dari I’rab sampai kepada membatasi arti.Sudah itu menerangkan arti itu secara
umum dan menghubungkannya dengan kehidupan umum orang yang hidup pada masanya.
Sesudah itu mengambil kesimpulan dan hokum-hukumnya. Juga menyebutkan hal-hal
yang bersesuaian dengan mengikat di antara ayat-ayat permulaan dengan kemudian.
C . Sebab-sebab Pokok Kekeliruan
dalam Menafsirkan Al-Qur’an
Menafsirkan Al-Qur’an
bukanlah suatu perkara yang mudah,karenanya ia memerlukan
persyaratan-persyaratan yang ketat melalui proses penguasaan berbagai ilmu alat
sehingga seorang layak disebut mufassir. Penguasaan ilmu alat saja tidak cukup,
apabila mufassir tidak memahami metode penafsiran. Ketidak pahaman metode ini
akan menyebabkan kesulitan mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an. Bahkan
cenderung pada kesalahan.
Adz-dzahabi menyebutkan kemungkinan
kekeliruan para mufassir dalam menafsirkan ayat Al- Qur’an tersebut dalam dua
faktor penting yaitu:
1. Kecenderungan
untuk meyakini kebenaran salah satu makna di antara banyak makna yang mungkin
diterapkan, kemudian memakai keyakinannya untuk menafsirkan semua lafal
Al-Qur’an.
2. Kecenderungan
untuk menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan makna yang dipahami oleh tutur bahasa
arab saja, tampa memperhatikan siapa yang berbicara dengan menggunakan
Al-Qur’an itu, kepada siapa diturunkannya dan siapa yang dibicarakan oleh
Al-Qur’an itu.
Dari kedua macam uraian di atas, dapat
kita pahami bahwa meskipun secara teori para ulama telah memberikan
batasan-batasan idial, sebagai hasil kesimpulan yang kita peroleh dari
pernyataan Ibnu Abas, dan juga mungkin patokan –patokan yang dijelaskan oleh
para mufassir itu berbuat keliru dalam menafsirkan Al-Qur’an . Penyebab pokok
kekeliruan penafsiran Al-Qur’an dapat di tinaju dari tiga segi :
1. Ditinjau
dari segi mufassir ( pelakunya )
Sebagaimana penjelasan Quraish shihab dan
Adz-dzahabi tersebut diatas kita bisa memperkirakan dan melihat bentuk-bentuk
penyimpangan penafsiran Al-Qur’an . Pertama : Berkaitan dengan subyektivitas
mufassir, kita bisa melihat kecenderungan-kecenderungan para mufassir untuk
menafsirkan menurut seleranya,mungkin berkaitan dengan mazhabnya, bidang kajian
yang dimintainya atau bahkan cenderung lain yang berkaitan keinginan-keinginan
pribadi atau kelompoknya.[4]
a.
Subyektivitas si
mufassir yang bermula dari perbedaan kemampuan, orientasi, system berpikir,
keyakinan atas kebenaran pendapat atau mazhab yang dianutnya[5],
kepentingan dan keinginan.mazhab yang dianutnya, kepentingan dan keinginan.
Dalam kasus ini bisa kita lihat contoh penafsiran yang
dilakukan oleh Az-Zamakhsyari, ketika ia menafsirkan kata : Nadhirah dalam
surat al- Qiyamah 23: Ia tafsir kata nadhirah dalam ayat dengan pandangannya
yang selaras dengan doktrin mazhabnya (Mu’tazilzh) dan keahlihan bahasanya. Kata nadhirah yang secara umum diterjemahkan
dengan melihat,ia tafsirkan dengan pernyataan: memandang di sini bukan berarti
melihat, dan melihat bukanlah salah satu makaud dari kata nadhirah
tersebut.Namun nadhirah memiliki arti yang banyak, antara lain: Menggerakan
biji mata kearah satu benda untuk melihatnya, menunggu, simpati dan berbaik
hati dan berpikir atau merenung. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa kata
nadhirah didalam ayat tersebut lebih tepat diartikan dengan menunggu,karena
kita tidak mungkin melihat Allah.
b. Tidak
menguasai ilmu alat, seperti Nahwu, Sharaf, dan lain-lain. Contoh: Kekeliruan
orientasi menafsirkan surat Maryam 19.Artinya Ia (Jibril) berkata :
Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhan-Mu, untuk memberimu
seorang anak laki-laki yang suci. (Q.S. Maryam
19)
2. Ditinjau
dari segi materi (sasarannya)
a.
Kurang memperhatikan
siapa yang menjadi Mukhattab ayat, untuk ini
perlu diperhatikan ayat-ayat sebelumnya.
Berkaitan dengan konteks soal kemasyarakatan yang lebih luas, kita melihat beberapa
kasus, diantaranya penafsiran kata mubsirah dalam surat Al- Isra’ ayat 59 :
kata mubshirah
di dalam ayat tersebut memiliki makna kontekstual . Sehingga tidak mungkin di
beri makna dengan arti oriensinalnya.Jika kata mubshirah di dalam ayat tersebut
ditafsirkan sesuai dengan makna oriensinalnya melihat dengan mata kepala, yang
menerapkan kata Naqah ( Onta Betina ), maka penafsiran itu tidak kontekstual
lagi karena kata mubshirah yang di maksudkan dengan ayat tersebut adalah sebuah
mukjizat yang dapat membuktikan kebenaran Nabi Shaleh terhadap kaum Tsamud pada
saat itu.
b.
Tidak memperhatikan
siapa yang mutakallim yang dibicarakan ayat.
c.
Mendahulukan yang
mutlaq dari yang muqoyyad.
d.
Tidak memperhatikan
munasabah ayat.
e.
Tidak menguasai masalah
yang ditafsirkan
f.
Mendahulukan yang
mutasyabih dari yang muhkam
3. Ditinjau
dari segi produk karyanya.
Berkaitan dengan kekurangan penguasaan ilmu pokok dan bantu
dalam menafsirkan Al- Qur’an, sebagaimana yang dipaparkan oleh Quraish Shihab,
bisa kita lihat pada kasus penafsiran yang dilakukan oleh para ilmuwan yang
tidak memiliki ilmu pokok (dalam penafsiran Al-Qur’an) secara memadai atau
mufassir yang memiliki kemampuan penguasaan ilmu pokok, tetapi kurang menguasai
ilmu bantu. Misalnya, jika seorang
ilmuwan berupaya mengaitkan kebenaran penemuan ilmiahnya dengan
setatemen-setatemen Al-Qur’an , sebenarnya merupakan usaha mulia.Tetapi dapat
dikatakan sebagai suatu kecerobohan yang bermakna kecenderungan untuk
menyimpang andai kata al- Qur’an dengan seperangkat setatemennya justru di uji
oleh kebenaran ilmiah yang mereka temukan.
Sebab
hasil suatu penelitian bukanlah suatu yang bernilai final, sementara kebenaran
yang ada didalam Al-Qur’an bernilai universal. Demikian juga, misalnya seorang
mufassir tidak boleh begitu saja menafikkan hasil penelitiaan ilmiah. Misalnya
dalam kasus penafsiran ayat-ayat kauniah, tentu saja peristilahan keilmuan
harus tetap menjadi perhatian para mufassir, demikian juga pengetahuan eksata,
misalnya dalam ilmu kedokteran, harus menjadi perhatian para mufassir ketika
menafsirkan ayat yang berkaitan dengan masalah kedokteran.
Dua contoh kasus penafsiran ketika dipaparkan oleh Adz- dzahabi, ketika
menafsirkan kata faqtha’u pada surat al- Maidah ayat 38
Ada
ilmuwan yang menafsirkan bahwa kata tersebut bukan menunjukan hokum wajib,
tetapi ibadah. Disini adz-Dzahabi bertanya kapan si mufassir dapat menafsir
amar tersebut bukan suatu kewajiban ? kemudian ketika menafsirkan ayat 61 dari
surat Al- Baqoroh :
Thanthawi
Jauhari Menguraikan dengan teori-teori medis, yang terlalu jauh. Sehingga
penafsirannya justru membias sangat jauh. Cara inilah yang di anggap
mengkawatirksn untuk terjadinya penyimpangan penapsiran, bila tidak terkontrol
dengan baik.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan bab sebelumnya , kita dapat
memperoleh sebuah kesimpulan tentang pengertian bahwa penjelasan terhadap makna
Al-Qur’an merupakan suatu keharusan .Tetapi keharusan tersebut, disamping
memerlukan kehati-hatian, juga memerlukan persyaratan yang tidak selayaknya di
langgar. Meskipun beberapa persyaratan yang dikemukakan oleh para ulama
tersebut merupakan hasil ijtihad, tetapi minimal dapat dipahami sebagai patokan
dasar yang selayaknya diperhatikan dalam penafsiran. Pelanggaran terhadap
patokan-patokan dasar tersebut memang ada kalanya tidak menimbulkan kesalahan
interprestasi, tetapi kemungkinan terjadinya kesalahan akan menjadi lebih
besar.
Disamping itu sejauh yang telah diupayakan oleh para
ulama untuk menaati syarat-syarat yang menjadi patokan dasar sebagai mufassir,
tetapi dalam realitanya kesalahan interprestasi terhadap Al-Qur’an pun masih
mungkin terjadi.untuk itu apa yang dinyatakan adz Dzahabi dan Quraish Shihab
perlu diperhatikan, disamping beberapa pelajaran tentang kesalahan dan
kemungkinan salah yang telah dilakukan oleh para mufassir. Dapat kita lihat
dari segi tiga hal yaitu :
1. Dari
segi mufassirnya.
2. Dari
segi Materinya.
3. Dari
segi karyanya.
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini, penulis sanagat
menharapkan kritik dan saran-saran yang bersifat membangun untuk dapat memperbiki kedepannya, karena kita manusia masih banyak
terdapat kekurangan-kekurangan . Dalam hal ini kami menyadari kekurangan akan
kesempurnaan dalam penulisan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad von Denffer, Ilmu
Al-Qur’an, Jakarta: Rajawali, 1988
Az-Zarqani, Abdul Adhim, Ulum
al-Qur’an,Kairo: Isa al Babiy al- Halaby,tt
Muhammad Husin az Dzahabi, Penyimpangan-penyimpangan
dalam al- Qur’an Jakarta: Rajawali, 1986
Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi’
Ulum al-Qur’an, Makkah: Dar al-Sudiyah, 1971
Quraish Shihab, Membumikan
al-Qur’an, Bandung: Mizan. 1992
-------------
Quraish Shihab menjawab 1001 soal keislaman yang patut anda ketahui, Jakarta, Lentera hati, 2008.
Ahmad Mustafa
al-Maraghi, terjemah tafsir al-maraghi,Semarang:Toha Putra, 2010.
[2] Manna’al-Qaththan,Mabahits
fi ‘ Ulum al-Quran, (Makkah Dar al- Sudiyah, 1971), hal.280 ,
dan Quraish Shihab menjawab 1001 soal
keislaman yang patut anda ketahui, (Jakarta:
Lentera hati, 2008) hlm.277.
[4] Quraish Shihab,
Membumikan Al-Qur’an, (Bandung : Mizan. 1992) hal. 83
[5] Muhammad Husin az
Dzahabi, Penyimpangan-penyimpangan…….hal. 10
Grand Victoria Casino Hotel, Cotai | Mapyro
BalasHapusGrand Victoria Casino Hotel, 강릉 출장안마 Cotai is a hotel in 남원 출장마사지 Cotai. View maps, reviews and 속초 출장마사지 information for Grand Victoria Casino 나주 출장마사지 Hotel in Cotai, Macao. 의정부 출장마사지