Jumat, 03 April 2015

Subyek hukum menurut hukum Islam


 Subyek hukum menurut hukum Islam

 Memahani teks-teks agama amat sulit dilepaskan dari pengaruh budaya serta perkembangan masyarakat yang dialami oleh seorang pemikir. Kekeliruan akan terjadi jika memahami satu teks secara persial atau memahami terlepas dari konteks. Pembahasan hukum dalam usul fikih ada empat, yaitu hakim, hukum, mahkum fiqh, dan mahkum alaihi. Hakim adalah dzat yang mengeluarkan hukum. Hukum adalah sesuatu yang keluar dari hakim yang menunjukkan atas kehendak pada perbuatan mukallaf. Mahkum fiqh adalah perbutaan mukalaf yang berhubungan dengan hukum. Dan mahkum alaihi adalah mukalaf sebagai pelaku perbuatan yang berkaitan dengan hukum. Subyek hukum dalam hukum Islam adalah pelaku hukum, orang-orang yang dituntut Allah untuk berbuat dan segala tindak lakunya telah diperhitungkan. Dalam ushul fikih di sebut al-Mukallaf atau almahku>m ‘alaih. Pembahasan subyek hukum ini sangat penting, karena ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar seseorang disebut sebagai al-mahkum ‘alaih. Jika syarat telah terpenuhi maka seorang mukallaf dapat melakukakn perbuatan hukum. Ada dua syarat terkait dengan subyek hukum dalam hukum Islam. Pertama: orang yang mukallaf harus dapat memahami dalil pembebanan (taklif). Bahwa orang yang mukallaf harus mampu memahami nash-nash hukum baik dari al-Qur’an maupun dari as-Sunnah. Manusia dapat memahami nash-nash tersebut lewat akal. Akal yang tidak dapat dilihat secara indrawi, memberikan asumsi bahwa kedewasaanlah yang dapat mencerminkan akal seseorang. Barang siapa yang telah mencapai tingkat kedewasaan tanpa menampakkan sifat-sifat yang merusak kekuatan akalnya, berarti orang tersebut telah sempurna untuk bisa diberi beban. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi: رفع القلم عن ثلاثة : عن النائم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم وعن المجنون حتى يعق Hadits di atas menunjukkan secara jelas bahwa, orang yang tidur, anak kecil, serta orang gila tidak dapat diberikan pembebaban atas dirinya. Hal ini dikarenakan tidak adanya akal bagi mereka. Mereka tidak dapat memahami sesuatu yang dibebankan atas mereka, oleh karenanya pembebanan tidak dapat diberikan kepada mereka. Syarat yang kedua terkait dengan subjek hukum adalah mukallaf harus yang ahli terhadap sesuatu yang dibebankan kepadanya. Ahli secara etimologis adalah kelayakan. Ulama Ushul Fiqh membagi ahli menjadi dua, yakni ahliyatul wujub (kemampuan menerima) dan ahliyyatul ada’ (kemampuan melaksanakan pekerjaan). Ahliyatul wujub adalah kelayakan seseorang disebabkan karena hak-hak dan kewajiban yang ada pada dirinya. Keahlian ini bersifat permanen pada setiap manusia, baik yang memiliki akal maupun tidak, baik yang kecil maupun dewasa, baik yang masih janin maupun baru dilahirkan dll. Ahliyatul wujub ini merupakan tanda kemanusiaan, oleh karena itu tidak ada orang yang tidak memiliki keahlian wajib. Ahliyatul wujub dibagi lagi ke dalam dua bagian, yakni Ahliyatul wujubal-ka>milah (kemampuan menerima yang sempurana) dan Ahliyatul wujub al-naqishah (kemampuan menerima tidak penuh). Ahliyatul wujub yang sempurna meliputi hak dan kewajiban semua manusia sejak lahir. Ahliyatul wujub yang kurang sempurna meliputi seseorang yang hanya pantas diberikan hak saja, atau hanya kewajiban saja. Contoh dari Ahliyatul wujub yang kurang sempurna adalah janin yang ada di dalam perut sang ibu (yang hanya memiliki hak). Ahliyyatul ada’ adalah kelayakan seseorang untuk diberi pembebanan, atau seseorang yang dianggap pantas oleh syara’ baik dalam bentuk ucapan, maupun perbuatannya. Orang yang seperti ini telah dapat dimintai pertanggungjawabannya terhadap apa yang dikerjakan. Prinsip dasar dalam ahliyyatul ada’ ini adalah kemampuan seseorang untuk membedakan baik buruk dengan menggunakan akal. Ahliyyatul ada’ dibagi lagi menjadi tiga bagian. Pertama, manusia yang tidak memiliki atau kehilangan ahliyyatul ada’. Kelompok ini terdiri dari anak-anak dan orang gila. Ucapan dan perbuatan yang dilakukan oleh anak-anak dan orang gila tidak dapat dimintai pertanggung jwabannya oleh syara’, karena mereka dianggap tidak memiliki akal. Kedua, manusia yang kurang sempuran ahliyyatul ada’nya. Kelompok ini terdiri dari anak-anak usia remaja, orang yang kurang berakal. Remaja dan orang yang kurang berakal, berhak untuk menerima sesuatu seperti hibah, wasiat dll, akan tetapi tetap tidak dapat melakukan perbuatan hukum yang bersifat pribadi yang tanpa perantara seperti menggugurkan kandungan, berbuat amal ibadah dll. Ketiga, orang yang memiliki ahliyyatul ada’ secara sempurna. Kelompok ini terdiri dari orang-orang yang telah sampai pada usia dewasa dan berakal, seperti orang yang telah baligh yang tidak terdapat tanda-tanda tentang kecacatan atau kekurangan akalnya.

Tidak ada komentar:
Write komentar